Jumat, 03 April 2015

 bagi temen-temen yang pengen ceritanya di tampilin.... kirim aja di email : kitadunia169@gmail.com
     SEJAK mendarat di Bandara Pattimura, Ambon, perasaan Rully sudah mulai gelisah. Sepanjang perjalanan menuju pusat kota, dia mencoba menenangkan diri dengan mendengarkan alunan musik melalui earphone-nya sambil memejamkan mata. Walaupun begitu, dia masih bisa mendengar Paula terus mengoceh sambil memuji pemandangan indah di luar kendaraan.
“Aduh, jangan dibuka jendelanya,” protes Rully ketika Paula dengan penuh semangat membuka kaca setelah sebelumnya menyuruh sopir yang menjemput mereka untuk mematikan pendingin udara.
“Ayo dong, Rul.. masa elo mau tidur terus di mobil sementara di luar sana ada laut.. pantai….” ujar Paula.
“Panas.. berisik sama suara elo..” gerutu Rully.
Paula mendecak kesal. Dia lalu menarik eaphone Rully dengan paksa.
“Hey!” protes Rully sambil berusaha meraih earphonenya dari gadis cantik di sebelahnya.
“Kenapa pas datang ke sini elo jadi om-om penggerutu, sih?” tanya Paula.
“Sialan, gue disebut om-om,” sungut Rully.
“Denger. Mungkin elo kesel karena kita berdua ditugasin di sini cukup lama. Tapi please, Rul! nikmatin ajalah. Lagian enggak bosan, kah, sama kehidupan Jakarta?” ujar Paula.
Rully memandangi Paula dengan tatapan menantang. Paula balas menatap Rully lebih galak. Akhirnya Rully mengalah dan menghela nafas.
“Nah, gitu dong. Jangan bermuram durja aja. Eh, apa tuh? Pak, apa tuh?” tanya Paula antusias ketika dia melihat sesuatu di pinggir jalan yang membuatnya tertarik.
“Oh.. itu tulisan ‘ambon city of music’ Nona. Tapi kalau dari sini tulisannya terbalik. Nona musti lihat dari seberang sana,” jelas Yunus sopir yang menjemput mereka.
“Berhenti dulu pak, saya mau foto di sini!” pinta Paula.
Yunus menuruti kehendak Paula dan menepikan kendaraannya. Mereka bertiga kemudian turun dan dengan semangat Paula mendekati tulisan itu dan mengaguminya. Rambut dan ujung sweater Paula berkibar-kibar tertiup angin pantai. Dia segera menyerahkan ponselnya pada Rully dan mengangkat kacamata hitamnya di atas kepala dan berpose.
“Pakai mode panorama ya, biar tulisannya kelihatan semua.” perintah Paula.
“Kalau dari sini kan nanti tulisannya tebalik!” ujar Rully.
“Gak usah ribet deh.. nanti kan bisa di-flip pakai aplikasi, ah! gimana sih?” decak Paula kesal.
Kemudian dia segera kembali berpose dan tak lupa memanyunkan bibirnya serta tangannya membentuk huruf V sementara Rully mengambil gambarnya.
“Udah puas?” tanya Rully tak sabar.
Dengan riang Paula berlari kecil menghampiri Rully dan memastikan gambar yang diambilnya sempurna.
“Ih bagus.. makaciiih…” ujar Paula gemas ketika melihat gambarnya sendiri.
Yunus, pria asli kota Ambon itu hanya tertawa-tawa melihat kelakuan mereka berdua sambil mengisap rokoknya.
Perjalanan menuju pusat kota memakan waktu setengah jam lebih. Rully dan Paula bekerja di sebuah perusahaan yang sedang berkembang pesat. Perusahaan itu bergerak di bidang investasi khususnya retail makanan dan busana. Tugas mereka adalah membantu perusahaan mengambil keputusan membuka investasi di tempat yang tepat, dengan harapan akan membukukan keuntungan tentunya.
Rully terlibat di bidang perencanaan, survey, hingga pembukaan awal investasi baru. Ambon kini, berbeda dengan Ambon sepuluh atau duapuluh tahun lalu. Perkembangan di kota ini cukup pesat sejak kerusuhan yang terjadi periode tahun 1999 hingga 2000. Mall dan pusat perbelanjaan mulai bermunculan. Sentuhan merek-merek waralaba yang biasa dijumpai di kota besar lain di Indonesia mulai merambah kota pulau ini. Salah satu pengusaha yang tertarik membuka bisnis di Ambon adalah Bos mereka di Jakarta. Dia melirik kota Ambon sebagai pasar potensial.
“Ini tempatnya?” tanya Rully pada Paula ketika kendaraan mereka melewati sebuah bangunan pusat perbelanjaan yang sepertinya baru saja dibangun.
“Iya. Ibu Rosi minta kita lihat lokasi, cek fasilitas, pelajari kontrak dengan pengelola mall, sama tingkat pengunjungnya. Udah ada tenant (penyewa) dari pemain besar di sini,” kata Paula.
“Dan dia enggak mau rugi banyak buat keluar biaya hotel buat kita sampai-sampai dia inapin kita di rumah kenalannya, gitu?” gerutu Rully.
Paula tertawa. “Ya ampun, Rul.. Kita kan dapet uang kompensasi kalau enggak nginap di hotel. Lumayan lah, bisa pergi jalan-jalan sama beli oleh-oleh.” hiburnya.
Memasuki pusat kota, kendaraan tersendat kemacetan di daerah Batu Merah. Dari situ keduanya sudah bisa melihat bangunan gedung kota di kejauhan yang bersisian dengan pantai dan pelabuhan.
“Kita langsung ke Karpan, ya Nona?” tanya Yunus.
“Kar? Karpan?” Paula bertanya balik karena tak paham.
“Maksudnya Karang Panjang…” tiba-tiba Rully menimpali.
“Iya betul. Itu maksud beta, Nona… Ibu Rosi seng bilang kah? kalau Nona bakal nginap di rumah Karang Panjang?” tanya Yunus lagi.
“Oh.. Oh, iya pak. Iya. Ke sana aja dulu,” kata Paula.
Yunus mengangguk.
“Kok elo tahu Karpan itu Karang Panjang?” tanya Paula pada Rully.
Rully pun hanya mengangkat bahu. “Pernah denger kayaknya Ibu Rosi bilang begitu. Atau pernah lihat juga di mana,” ujarnya.
“Ah, masa sih? gue enggak pernah denger Ibu Rosi bilang kita bakal tinggalnya di Karang Panjang,” timpal Paula.
RUlly tak menjawab. Dia mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
Daerah Karang Panjang di kota Ambon letaknya di perbukitan. Untuk menuju tempat itu, mereka harus melewati jalan raya yang sedikit berkelok dan menanjak. Tidak seperti daerah pesisir, udara di Karang Panjang
lebih sejuk. Mungkin karena angin laut tanpa hambatan naik ke atas perbukitan sehingga menghalau udara panas di sana.
Mobil berhenti di depan pagar sebuah Rumah. Bangunan itu  sangat besar. Terdiri dari dua lantai yang terlihat seperti tumpang tindih menyesuaikan dengan tanah di lereng perbukitan. Ketika mobil masuk di pintu utama, sebenarnya mereka sedang berada di lantai dua. Sebuah teras balkon cukup luas berada di lantai tiga yang cocok untuk tempat bersantai penghuninya sambil memandangi matahari terbenam di teluk Ambon.
Tapi yang membuat Paula takjub bukan hanya rumah dan pemandangannya. Tapi monumen patung Martha Christina Tiahahu yang letaknya tepat berada di seberang jalan rumah itu.
“Wah.. ini pahlawan wanita dari Maluku itu, kah?” tanya Paula.
“Iya Nona. Itu Oma Ata. Begitu biasa kita panggil,” kata Yunus.
“Dan rumah ini dekat dengan monumen ini? Foto! foto!” teriak Paula bersemangat.
“Nanti ajalah.. beresin barang kita dulu di sini baru kita jalan-jalan,” saran Rully.
Walau kurang senang dengan saran Rully, Paula akhirnya menurut. Seorang wanita tua yang tadi membukakan pintu gerbang untuk mereka, tampak bercakap pelan dengan Yunus.
“Mama Ko. Om Albert ada kah seng?” tanyanya.
Wanita ini sebenarnya bernama Karolina, namun seperti kebiasaan di Ambon, orang-orangnya terbiasa saling memanggil nama dengan panggilan singkat. Ditanya seperti itu Mama Ko tampak cemas.
“Ada Om.. tapi kesehatan Antua (beliau) seng talalu baik… baru kemarin keluar dari rumah sakit,” jelas Mama Ko.
“Siapa itu Om Albert?” tanya Paula sambil menurunkan kopernya.
“Om Albert itu kenalan Ibu Rosi, nona. Dia yang punya rumah ini. Usianya sudah tua, sakit-sakitan dan selalu duduk di kursi roda. Om Albert tidak punya keluarga, lalu kabarnya dia juga ikut berinvestasi di bisnis Ibu Rosi.” jelas Yunus.
“Oh kalau begitu kita ketemu tuan rumah dulu, gimana? Kok Ibu Rosi enggak pernah bilang ya soal Om Albert?” tanya Paula.
“Sebaiknya nanti saja, Nona.. Antua masih tidur. Nona deng Nyong istirahat saja dulu. Mari beta antar ke kamar..” saran Mama Ko.
“Oh, okelah kalau begitu. Yuk, Rul!” ajak Paula.
Kamar mereka berdua berada di lantai dua. Sebuah lampu kristal besar yang tergantung dari langit-langit lantai tiga, menjuntai menghiasi ruang luas di antara kamar-kamar yang ada. Rully menoleh ke deretan jendela lebar yang pemandangannya langsung menuju teluk Ambon.
“Maaf Nona, Nyong.. akhir-akhir ini seringkali ada pemadaman listrik. Nanti beta sediakan lilin deng mancis (korek api) kalau-kalau nanti malam listrik mati,” kata Mama Ko.
“Bagus. Sebegitunya ya demi dapat kompensasi enggak tinggal di hotel?” sindir Rully.
Paula lalu menginjak kaki Rully hingga pemuda itu meringis kesakitan.
Kamar Rully bersebelahan dengan kamar Paula. Jika gadis itu mendapat pemandangan teluk, jendela kamar Rully menghadap langsung taman tempat patung Martha Tiahahu berada. Dia membuka tirai dan melihat patung itu berdiri tegak menghadap teluk. Tak lama Mama Ko datang lagi membawakan lilin dan korek api. Rully mengucapkan terima kasih dan menutup pintu.
“Rul! nanti kalau udah mandi, kita jalan-jalan, ya?” sahut Paula dari luar kamar sambil mengetuk-ngetuk pintu.
“Iya!” jawab Rully.
Kamar itu lumayan bagus. Rully lalu membereskan pakaiannya dan menempatkannya di lemari. Setelah itu dia mandi dan berganti pakaian. Rupanya Yunus masih menunggu di luar dan sedang mengisap rokok. Rully memanggil Paula dari luar kamarnya.
“Bentaar! gue pake baju dulu!” teriak Paula dari dalam kamar.
Rully menghela nafas. Dia tahu pasti bahwa akan cukup lama menunggu Paula beres berdandan. Rully akhirnya memutuskan untuk pergi menemani Yunus di teras.
“Su siap jalan?” tanya Yunus.
Rully menggeleng.
“Paula belum selesai dandan. Dia kalau dandan lama.” kata Rully.
Yunus terbahak memamerkan deretan giginya yang putih kontras dengan kulitnya yang gelap.
“Sabar nyong.. menghadapi parampuang cantik memang harus sabar…” kata Yunus sambil menepuk-nepuk bahu Rully.
Rully terkekeh setuju. Lima menit kemudian Paula muncul. Dia sudah berganti pakaian dengan baju terusan tanpa lengan berwarna cerah dan celana legging hitam dan sepatu kets.
“Nona e.. cantik batul..” puji Yunus sambil berdecak dan menggelengkan kepalanya.
“Ah, Pak Yunus bisa aja,” ujar Paula tersipu.
Rully tampaknya juga harus mengakui kecantikan Paula sore itu.
“Pak, seng usah repot-repot antar kami jalan, tugas Pak Yunus kan cuma jemput kita berdua dari bandara,” ujar Rully.
“Seng apa-apa, nyong… beta antar pi baronda (jalan-jalan) dulu. Baru pertama kali kan ke Ambon?” tanya Yunus.
Paula mengangguk antusias sedangkan Rully hanya diam saja.
Ketiganya kembali menuju mobil dan turun dari bukit Karang Panjang menuju pusat kota. Paula sepertinya tak ada puasnya meminta agar Yunus berhenti untuk memberikan kesempatan dirinya difoto di beberapa tempat. Rully terpaksa menuruti keinginan sahabatnya itu dan menjadi tukang foto dadakan.
Setelah mereka makan di sebuah restoran dan berbelanja di sebuah supermarket, Rully dan Paula kembali ke rumah.  Setelah berfoto di dekat patung Martha Tiahahu, Yunus berpamitan dan berjanji akan menjemput mereka besok pagi.
“Makasih Pak, besok jam setengah delapan jemputnya, ya?” kata Paula.
Paula yang senang setelah berjalan-jalan rupanya tanpa sengaja menyebabkan pintu utama rumah itu terhempas kencang saat menutup. Tiba-tiba sebuah suara raungan marah terdengar dari lantai bawah.
“Siapa itu? Mama Ko! Siapa itu yang bikin ribut?!” teriak suara laki-laki.
“Itu Nona Paula deng Abang Rully, pak.. tamu Ibu Rosi dari Jakarta..” sahut Mama Ko.
“Elu, sih!” ujar Rully kesal pada Paula.
Paula hanya bisa menggigit bibir khawatir.
“Maaf Om.. tadi saya enggak sengaja nutup pintunya kekencengan,” ujar Paula memberanikan diri turun dari tangga menuju pria tua yang duduk di kursi roda.
Pria itu lalu menoleh. Wajahnya nampak kurang ramah. Hampir seluruh kepalanya dipenuhi uban. Tulang pipinya menonjol karena kurus. Dia memakai sweater biru tua yang tampak mahal, namun kontras dengan tubuhnya yang ringkih  tak berdaya di atas kursi roda.
Mama Ko menatap Rully dan Paula cemas.
“Om Albert? kenalin. Saya Paula dan teman saya ini namanya Rully. Kita berdua orang suruhan Ibu Rosi,” kata Paula ramah.
Albert memandangi keduanya dengan tatapan menyelidik. RUpanya dia tak begitu keberatan dengan Paula, namun saat dia melihat Rully, sikap Albert berubah menjadi semakin tidak ramah. Dia memandangi Rully dengan tatapan tak suka. Rully merasa tak nyaman dipandangi seperti itu.
“Jangan bikin ribut di sini, saya butuh isirahat, mengerti?” ujarnya sambil berbalik dan mengayuh kursi rodanya menuju sebuah kamar.
“Baik Om..” jawab Rully.
“Mama Ko! beta mau mandi! jang lupa air panasnya cek dulu..” perintahnya.
“Saya Pak…” kata Mama Ko sambil berlari menuju kamar Albert.
Paula lalu mengajak Rully naik menuju kamar mereka masing-masing.
Sebelum berpisah, Rully sudah lebih dulu membuat pernyataan.
“Denger ya, kalau bapak tua itu masih marah-marah selama kita di sini, gue akan bilang ke Ibu Rosi supaya kita bisa tinggal di hotel. Dia boleh tarik lagi tuh uang kompensasi,” ujar Rully kesal.
Paula menghela nafas. “Yaudah Rul.. kita lihat besok aja, ya? sekarang kita istirahat aja,” ujarnya pasrah.
Rully lalu masuk ke kamarnya dan meletakkan barang belanjaannya. Langit semakin gelap. Lampu taman tempat patung Martha Tiahahu sudah dinyalakan. Ketika Rully menutup jendela dengan tirai, tampak bayangan patung jatuh tepat pada tirai dan membentuk siluet tubuh. Rullyu memandangi bayangan itu sesaat. Setelah itu dia lalu berganti pakaian dan rasa penat pada tubuhnya setelah berjalan-jalan membuatnya cepat tertidur.
Entah sudah jam berapa, Rully terbangun. Dia merasa udara sangat panas. Matanya mengerjap mencoba mencari tahu kondisi kamarnya. Rupanya masih malam dan listrik padam sehingga pendingin ruangan mati mengakibatkan udara terasa panas. Rully menendang selimutnya dan berusaha mendinginkan badannya dengan menarik nafas dan menghembuskannya berkali-kali. Untunglah cahaya dari luar masih menerangi kamarnya sehingga Rully masih bisa melihat lilin dan korek api yang diletakkan Mama Ko tadi siang di atas meja dekat pintu.
Segera Rully berjalan menuju meja dan menyalakan lilin sambil bergumam kesal. Awalnya dia tak memerhatikan sesuatu yang ada di luar jendela kamarnya. Rully berpikiran bahwa cahaya bulan di luar masih menyebabkan bayangan patung Martha Tiahahu pada tirai jendela. Tapi ada yang aneh. Rully bersumpah bahwa sekilas dia melihat siluet bayangan itu bergerak sedikit. Bulu kuduknya meremang. Dia melirik jam tangannya. Jam satu pagi. Otaknya masih mencoba berpikir jernih bahwa bayangan siluet tubuh itu adalah bayangan patung Oma Ata. Tapi perasaannya mengatakan lain. Dia lalu mendekati jendela kamar perlahan sambil pandangannya tak lepas dari bayangan itu. Rully terkesiap sedikit saat dilihatnya bayangan kepala itu bergerak ke samping. Tangannya terasa merinding. Tak salah lagi. Ada orang di luar yang mungkin saja hendak masuk mencuri atau merampok ke dalam rumah ini.
Dengan sigap Rully menyibak tirai jendela. Dia terkejut dan berteriak ketika dilihatnya sesosok wajah seram kehitaman dengan rahang lebar terbuka memamerkan sederetan gigi taring tajam. Mahluk itu mengeluarkan lengkingan yang memekakkan telinga. Telinganya mencuat panjang dan matanya merah menatap tajam Rully dari balik Kaca seperti hewan buas. Rully terhuyung dan terjatuh di lantai. Dia pingsan.
-Bersambung-
Next
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

0 komentar:

Posting Komentar